About

Imposter Syndrome

Sindrom imposter dapat menyerang seseorang saat menjadi orang tua pertama kali atau membeli rumah atau mobil pertama.



Sebuah email pada inbox hari ini mengharuskan saya menjelaskan tentang sindrom imposter. Dibawah ini terdapat curahan hati seorang teman, ketika ia menempuh pendidikan profesi dokter, yang sangat relevan dengan sindrom ini. Selamat membaca! 😁

***

Hari itu, saya membawa seroang pasien ke ruang ujian. Satu-satunya yang ada  dalam pikiran: "Tuhan, jangan sampai aku mengacaukan ujian hari ini"

Ini adalah pengalaman ujian klinik pertama saya pada bagian bedah onkologi, di rumahsakit tempat saya belajar.

Setiap hal terkait ilmu dan keterampilan telah saya persiapkan untuk hari ujian tersebut.

Tugas saya adalah membuat pasien kembali menjadi mandiri dan membantu mereka bebas dari masalah kesehatan terberat dalam hidup yaitu, kanker. 

Dimalam sebelumnya menjadi malam yang lebih panjang saat saya menangani pasien di ruang rawat inap. 

Berjam-jam waktu di malam itu, saya habiskan membahas masalah ilmiah dan masalah spiritual pada pasien kanker tersebut.

Untungnya, dokter penguji memberikan pasien yang mudah, yaitu seorang pria dengan kanker prostat lanjut.

PSA-nya terkontrol dengan baik dengan enzalutamide dan tubuhnya menerima obat ini dengan baik.

Pada hari ini tidak ada pemeriksaan pemindaian dan tidak perlu pemindaian untuk pemeriksaan berikutnya. 

Kami menghabiskan sebagian besar kunjungan berbicara tentang keluarganya dan masalah obatnya yang sulit dicari.

Setelah berbicara dengan salah satu apoteker, saya meminta pasien menghubungi apotek di pusat kota untuk mendapatkan obat tersebut.

Pasien akan kembali bulan depan untuk pemeriksaan toksisitas lagi dan menerima suntikan terapi defisiensi androgen.

Ketika saya berjalan keluar dari hari klinik yang sangat ringan, saya merasa ironis bahwa setelah bertahun-tahun mencermati buku-buku dan mendengarkan ceramah tentang ilmu klinis, ternyata keputusan klinis pertama saya sebagai dokter adalah: di mana harus membeli obat.

Saya juga tahu bahwa pengalaman klinis saya kedepan akan lebih menantang.

Tapi mendadak saya ragu pada diri sendiri, apakah benar saya siap menghadapi tantangan?

Sindrom Imposter

Ada banyak diskusi dalam literatur medis baru-baru ini tentang sindrom imposter (hayalan negatif), dengan gejala: meremehkan kemampuan seseorang dan merasa kurang berhasil meskipun kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Sindrom imposter dilaporkan banyak  di antara tenaga medis diawal karirnya dan dokter wanita, yang dikaitkan dengan tingginya tingkat kelelahan dalam pelayanan.

Dokter yang mengalami sindrom ini dapat dengan mudah mengingat kritik, namun mudah melupakan kesuksesan.

Sindrom imposter mungkin sangat tinggi di antara dokter yang memulai awal karir seperti saya, yang tidak memiliki cukup pengalaman positif pada pasien untuk memberikan validasi internal dan yang dikelilingi oleh orang lain yang sangat sukses.

Ini diilustrasikan dengan jelas pada diri saya ketika saya keluar dari rumah sakit hari itu.

Saya bertemu dengan salah satu senior sekaligus mentor saya, seorang ahli onkologi.

Dia sudah ada hari di ruang prakteknya, yang kini sedang melayani pasien keenam pagi itu.

Semua pasiennya sangat menghormatinya, dan ketika dia melewati mereka di ruang tunggu dia selalu menyindir atau berkomentar singkat tentang setiap pasien yang menunggu yang menunjukkan betapa dia tahu dan peduli pada pasien.

Ketika saya berjalan keluar, saya berpikir, bagaimana saya bisa menjadi dokter yang sebaik seniorku?

Kesalahan Premis

Ketika saya semakin merasa nyaman dengan peran saya sebagai seorang dokter, saya menyadari bahwa komponen besar sindrom ini datang dari psikologi internal saya sendiri. 

Meskipun memiliki keahlian yang cukup (misalnya, pengalaman di rumah sakit, berhasil di puskesmas) dan beban klinis yang relatif ringan (setidaknya, dibandingkan dengan rata-rata onkologis praktik pribadi), itu adalah harapan internal saya sendiri yang menyebabkan sindrom ini terjadi.

Saya pikir ada beberapa hal penting yang perlu disadari oleh para pemuda diawal karirnya tentang sindrom ini yang sesungguhnya lebih merupakan fiksi (hayalan) daripada fakta.

Menghadapi Pasien

Sebagai dokter, kebanyakan dari kita melihat pasien baru hampir secara eksklusif.

Karena rotasi klinis dan kebutuhan untuk meluangkan waktu yang banyak dalam memeriksa pasien baru yang rumit, saya mengamati relatif sedikit pasien dengan kunjungan kembali atau kunjungan lanjutan.

Mengelola kemoterapi rutin atau toksisitas imunoterapi sebenarnya relatif jarang bagi kita, mengingat sebagian besar waktu kita bekerja untuk pasien baru.

Karena itu, saya merasa perlu untuk menjalankan "rutinitas" yaitu: menjelaskan dan menyetujui kemoterapi, merinci efek samping, dan memesan obat yang diperlukan, selama kunjungan pasien baru.

Namun, selama pasien baru pertama saya berkonsultasi, (kasus pria dengan kanker prostat), saya segera menyadari bahwa melakukan "rutinitas" pada pemeriksaan pertama tidaklah tepat.

Butuh waktu yang banyak hanya untuk mengkonfirmasi data primer dan mengidentifikasi keinginan pasien pada sesi ini.

Pada saat kami berdiskusi dan sepakat tentang rencana perawatan, saya terlambat 10 menit untuk pemeriksaan pasien berikutnya yang berada di ruang tunggu.

Tidak mungkin saya bisa mengurus persetujuan, meresepkan antiemetik, dan 10 hal lain yang perlu dilengkapi sebelum ia memulai terapi. 

Kami memutuskan untuk mengurus hal-hal tersebut pada kunjungan berikutnya pada minggu berikutnya.

Tetapi setelah kunjungan pertama itu, saya merasa bersalah dan tidak mampu meninggalkan pasien saya dengan beberapa pertanyaan pasien yang tidak terjawab.

Baru sekarang saya mengikuti pasien secara longitudinal (dari awal kunjungan sampai pasien benar-benar sembuh), dan saya menyadari bahwa kesabaran sangat berarti. Tidak perlu memaksakan memeriksa semua pasien dalam satu hari.

kabar baiknya adalah, kecuali kondisi bencana, dokter sesungguhnya selalu memiliki kesempatan untuk memeriksa pasien dilain waktu.

Menunda terapi seminggu atau menjaga hal-hal sederhana selama konsultasi awal tidak selalu merupakan hal terburuk di dunia.

Orang Lain Dapat Diandalkan

Tahun terakhir pendidikan klinik saya rasakan sangat fantastis: Saya memiliki kesempatan untuk membuat keputusan independen sambil tetap menjalankan sebagian besar hal yang diarahkan oleh mentor saya. 

Sementara tahun pertama pendidikan saya dihabiskan untuk mempelajari prinsip-prinsip umum praktik kedokteran, tahun kedua saya dihabiskan mempelajari dua bidang penyakit: penyakit kulit dan onkologi, mempelajari seluk-beluk uji klinis yang mengubah praktik dan masalah praktis pemberian terapi.

Senang rasanya bisa fokus pada dua bidang ilmu yang bisa saya terapkan, untuk menghabiskan sisa hidup saya untuk mengobati manusia.

Penyakit telah Menjadi Teman

Ketika saya membayangkan transisi saya lulus dari pendidikan klinik, saya selalu membayangkan diri saya lahir sepenuhnya menjadi dokter terbentuk dari bantuan senior dan para mentor.

Sebelumnya, saya hanya merasa lebih seperti "tenggelam dalam samudra" atau tidak akan ada mentor atau dosen senior yang membantu. 

Saya harus mengambil keputusan sendiri menggunakan pengetahuan apa pun yang saya miliki.

Gagasan keliru tentang kesendirian ini berkontribusi pada sindrom imposter pada hari pertama saya di klinik sebagai dokter.

Saya kebetulan bertemu dengan salah satu guru lama saya setelah klinik pertama saya.

Meskipun kasus saya cukup mudah, saya menjawab setiap pertanyaan dengan santai kepadanya, menyebutkan apa rencana saya. 

Dengan santai, saya bertanya, "Itukah yang akan dokter (guru saya) lakukan di sini?"  Dia berkata, "Ya."

Perlahan-lahan saya menyadari bahwa, bahkan sebagai junior, kita diperlukan untuk menangani kasus oleh para mentor.

Penyakit yang rumit juga menjadi teman saya: Meskipun sebagian besar pasien datang dengan untuk kasus yang kompleks, saya sering membawa kasus yang relatif sederhana ketika waktu memungkinkan, untuk membuat diri saya lebih percaya diri. 

Sungguh mengejutkan, semua anggota dokter senior rupanya menghargai kasus-kasus sederhana, bahkan menggunakannya sebagai kesempatan mengajar bagi mahasiswa yang lain.

Sindrom imposter semakin berkurang ketika Anda menyadari bahwa Anda tidak pernah benar-benar sendirian.

Mengapa Sindrom Imposter Ada?

Ketika sindrom imposter pada diri saya mulai berkurang, saya sering bertanya-tanya bagaimana para dokter "jaman dulu" berhadapan dengan kondisi ini.

Jika sindrom ini ada bagi saya, apa yang harus dilakukan oleh guru saya, tanpa bisa bertanya dengan mbah google?  Lalu dengan siapa ia bertanya?

Saya dengan cepat menyadari bahwa sering kali kita dimasukkan ke dalam kondisi yang justru memperkuat sindrom imposter.

Untuk para dokter khususnya, ada beberapa faktor yang berkontribusi.

Pertama, sebagai seorang dokter dengan spesialisasi penyakit (misalnya onkologi), banyak yang sering menganggap dirinya sebagai "ahli kanker yang menjadi harapan terakhir pasien" sehingga sang dokter diharapkan mengetahui semuanya ketika mendapatkan rujukan dari dokter lain. Sesungguhnya, masih ada waktu untuk belajar, dan selama masa belajar inilah sindrom imposter paling nyata.

Kedua, karena volume klinis jauh lebih tinggi untuk dokter klinis dibandingkan dengan dokter akademis. Dokter klinis mungkin memerlukan waktu lebih sedikit untuk masuk ke zona nyaman mereka.

Akibatnya, sindrom imposter dapat berlalu lebih cepat bagi dokter klinis.

Akhirnya, dan mungkin yang paling penting, sekarang saya telah didorong ke posisi fakultas, saya juga telah memikul tanggung jawab untuk menjalankan pendidikan dan mengajar warga dan rekan dokter. 

Hampir setiap hari, saya menghabiskan waktu di semua domain ini (klinis, penelitian, kepemimpinan, dan pengajaran). 

Ada kurva belajar untuk semua ini, dan seringkali mentor berbeda untuk masing-masing domain.

Bagi banyak dokter akademik, atau mereka yang memiliki peran di luar dokter klinis, sindrom imposter ada di semua aspek kehidupan.

Belum lagi sindrom imposter yang menyerang anda saat menjadi orang tua pertama kali atau membeli rumah atau mobil pertama Anda.

Menerima

Pada akhirnya, saya telah belajar untuk menerima bahwa tahun pertama saya di fakultas kedokteran — mungkin bahkan 2, 3, atau 4 tahun pertama saya — akan menjadi proses pembelajaran di mana saya bisa melakukan yang lebih baik.

Ini sering muncul ketika saya dikelilingi oleh para klinisi teladan, peneliti, dan tentunya keluarga yang fantastis.  

Tetapi saya perlahan-lahan menyadari bahwa banyak orang di posisi saya merasakan sindrom imposter yang sama, dan kemungkinan banyak yang lebih senior bagi saya masih mengalaminya sekarang hingga dimasa depan.

Daripada merasa kesal, saya pikir inilah kesempatan belajar yang membuat kita merangsang sisi intelektual untuk menjadi seorang ahli.

Selama saya tidak membiarkan sindrom imposter menghalangi perawatan pasien — atau selama saya jujur ​​dengan pasien tentang apa yang tidak saya ketahui atau tidak bisa lakukan — maka mungkin sindrom imposter tidaklah sesuatu yang buruk.

Jika saya pernah merasa benar-benar nyaman dengan pekerjaan saya sehari-hari, atau jika saya berhenti mempertanyakan "mengapa saya memilih keputusan ini?" maka itu berarti saya siap untuk tantangan baru.
Imposter Syndrome Imposter Syndrome Reviewed by adipendet on Agustus 12, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.